Merekalah Emas Yang Nyata
Gurat senyum diwajahnya masih tetap ada dan tetap sama, meskipun malam saat itu akan segera berakhir dan berganti hari. Mulut gadis itu tak hentinya menggoda para manusia-manusia terdidik di negeri ini. Terkadang dia menarik lengan orang yang melewatinya yang jaraknya sangat dekat dengan dia. Aku masih memperhatikannya dari balik pilar besar gedung ini, memperhatikan dia yang semakin diselimuti oleh dinginnya langit malam.
“Mas, ayo beli minumnya disini !” Seorang Ibu tua disamping gadis itu menawari lelaki dengan jas hijau tua yang melewati mereka.
“Iya kak, kalo haus beli minumnya disini.” Akhrinya gadis kecil itu berkata setalah dari tadi dia hanya tersenyum kepada orang-orang yang melewatinya. Sembari pandangannya mengarahkan orang-orang tersebut agar memperhatikan ember hitam yang dia pegang. Ember yang berisi dengan minuman-minuman berbagai merk dan jenis yang dia pegang dengan tangannya yang mungil.
Aku masih ingat, kemarin siang sekitar pukul 13.30 WITA aku dan teman-temanku bersenda gurau dengannya. Dia juga tidak sendiri, ada tiga bocah laki-laki dan seorang gadis kecil sedikit lebih tua darinya. Aku masih ingat salah satu bocah laki-laki itu bernama Andrian, rambutnya plontos hampir gundul, bertubuh kurus dengan beberapa luka-luka kulit yang sudah kering di betis dan tanganya. Dia memakai celana kain selutut berwarna biru, dan ketika kutanya saat ini dia memang masih sekolah, kelas 3 SMP, atau sekarang sering disebut kelas 9. Sementara kedua bocah laki-laki yang lain jika kulihat dari postur dan tingkah mereka sepertinya mereka seusia dengan anak-anak kelas 2 SD, entah mereka sekolah atau tidak.
“Kakak, ayo beli minum kita, kakak pasti haus ayo beli minum !” Pinta Andrian bocah berkepala plontos itu kepada aku dan teman-temanku dengan logat Makassarnya. Aku hanya tersenyum kepadanya.
Siang itu aku dan teman-temanku sedang beristirahat dibawah pohon-pohon besar dihalaman Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. Selama sepekan ini Unhas menjadi tuan rumah Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional. Ribuan mahasiswa terpilih dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Universitas terbesar di Makassar ini. Termasuk aku dan ratusan teman-temanku dari Institut Teknologi sepuluh nopember Surabaya. Tidak hanya mendapat teman-teman baru para mahasiswa-mahasiswa hebat saja, tapi siang itu aku, Banu dan Dilla berkesempatan berkenalan dengan teman-teman kecil ini.
“hei kak, ayo beli minumnya lah” seloroh bocah laki-laki yang paling pendek.
“Ini kak beli diaku saja minumnya” bocah laki-laki yang satunya lagi sedikit memaksaku untuk membeli minuman tersebut kepadanya..
“Nggak-nggak dek, kakak sudah punya minuman.” Jawabku sambil menunjukkan kepada mereka dua dus botol air mineral yang masih penuh.
Tapi anak-anak itu terus memaksa kami untuk membeli minuman mereka. Dan mereka ternyata berjualan sendiri-sendiri, ya ember yang mereka bawa masing-masing adalah barang dagangan mereka sendiri tidak ada hubungannya satu sama lain, sehingga mereka saling menunjukkan tingkahnya agar kami para pelanggan mau membelinya kepada salah satu dari kelima bocah itu.
“hahaha.. ayo gan kamu beli aja.” Suruh temanku Dilla yang sesekali mengambil foto anak-anak yang tingkahnya semakin menjadi-jadi itu.
Akhirnya aku membeli sebotol minuman teh dingin rasa apel, dari anak bernama Andrian itu. Tapi anak yang lain kembali memaksa kami untuk membeli kepadanya, Akhirnya temanku Banu membeli minuman yang sama kepada anak yang lain. Setelah itu kami bercanda-canda dengan mereka ditemani dua teman kami dari mahasiswa Unhas, athira, dan widya yang mengenakan jas almamater mereka berwarna merah.
“Kak, kenapa pacarnya tidak dibelikan juga? Kasian.” Tanya Andrian padaku sambil menunjuk Dilla.
Aku dan Dilla tertawa geli medengar polosnya mereka.
“Pacar, kamu tau dari mana dek?” aku tertawa pada anak itu
“Saya kemaren bertemu kakak berdua di kantinkan?”
Ternyata Andrian masih ingat dengan pertemuan sekilas kami berdua dengannya dikantin Saat itu dia sedang menjaga warung dan menawari kami untuk membeli minuman di warungnya. Sayangnya saat itu kami sudah membeli di warung yang lain.
Kami berfoto bersama mereka. Tertawa bersama anak-anak itu. Tapi gadis perempuan itu tidak mau difoto, diapun tidak mau menyebutkan namanya ketika kami tanya. Dia malu-malu ketika akan diambil fotonya.
“ayo, kamu kakak foto dulu.” Pinta Dila pada gadis itu.
“nggak kakak” dia menutupi mukanya dengan tangannya.
“hei, kenapa kamu gak mau difoto?” Tanya Banu padanya.
“gak mau pokoknya kakak.” Jawabnya sambil tersipu-sipu malu.
“oh ya, nanti kamu mau kuliah dimana?”
“Disinilah kakak” jawab anak perempuan itu, meski terdengar sedikit ragu. Tapi senyumnya yang manis kemudian seolah menggambarkan lukisan masa depannya yang indah. Ya, dia memiliki cita-cita untuk kuliah di Universitas Hasanudin ini, dimana dia dan ibunya berjualan di kantin kampus ini.
“Eh, ya sudah kalian sana kembali berdagang. Jangan ngobrol terus dengan kami. Nanti dagangan kalian gak abis-abis.” Suruh Athira teman kami dari Unhas. Akhirnya mereka pergi dengan membawa ember-ember berisi botol minuman itu dan tangan mereka yang satunya lagi masing-masing membawa nasi kotak pemberian dari panitia acara ini.
Aku masih ingat, kemarin siang gadis kecil itu ketika Banu tanya siapa namanya dia Cuma tertawa, tapi teman-temannya yang lain sambil bercanda mengatakan nama anak itu adalah Putri. Dan tadi siang pun aku dan Dilla bertemu lagi gadis kecil ini, ya dengan Putri, tapi dia tidak bersama teman-temanya yang kemarin. Siang itu dia menemani ibunya membuka sebuah warung dilapang depan tempat acara pameran, dilapang itu juga terdapat panggung hiburan sehingga suasanya terlihat ramai.
“Kak Dilla !” panggil Putri mengagetkan Dilla.
“hei, kok kamu ada disini?” Tanya Dilla yang tidak menyangka bisa bertemu lagi dengannya.
Aku lihat Dilla asyik bercengkrama dengan Putri. Tiba-tiba saja ibunya yang sedari tadi tersenyum memperhatikan memanggil Putri, kulihat dia seperti berpesan sesuatu kepada Putri.
“Kak Dilla, ini buat kakak.” Putri menyodorkan teh kotak kepada Dilla.
“eh, gak usah, buat kamu aja.” Dilla enggan menerima pemberian Putri.
“gak apa-apa, itu dari anak ibu buat adek.” Jelas Ibu Putri sambil tersenyum.
“Biar saya beli saja bu, berapa harganya?” Dilla masih sedikit enggan untuk menerimannya.
“Itu buat adek yang udah baik sama anak saya” Dilla pun menerimanya dan mengucapkan terimakasih pada Putri dan Ibunya.
“eh Gan, fotoin kita donk !” pinta Dilla padaku.
Setelah berfoto kami pun pamit untuk berpisah lagi dengan gadis kecil itu siang tadi.
Dan malam ini, aku kembali melihat Putri. Pukul 22.40 saat ini. Oh salah, aku lupa jam tanganku ini belum aku sesuaikan dengan waktu di Wilayah Indonesia Tengah, berarti malam ini sudah pukul 23.40. Hari hampir berganti dan anak ini kini telah berpindah lagi didepan gedung Baruga A. Pettarani ini untuk menjajakan dagangannya. Malam ini malam terakhir aku pikir dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ketika sedang banyaknya orang-orang berkumpul disini, dan baginya inilah waktubyang tepat untuk mengais rupiah.
“Hei, masih inget kakak?” aku menghampiri Putri sambil sedikit membungkuk tersenyum kepadanya.
“eh, iya kakak.” Dia malu-malu dan sedikit kaget, saat itu aku memang sendiri tidak dengan Dilla.
“ah, kakak beli yang itu, yang warna orange.” Aku membeli sebotol minuman kepadanya. Padahal tenggorokanku sedang serak dan sakit, meminum minuman dingin hanya akan menambah parah. Tapi tak apalah pikirku, apa salahnya ini terakhir aku bisa membuatnya senang dengan membantu menghabiskan danganngannya.
“Makasih ya” ucapku sambil mengambil uang kembalian darinya. “Oh iya, ada salam dari Kak Dilla, Semangat ya !” Aku tersenyum sambil mengusap kepalanya kemudian berlari mengejar rombongan teman-temanku yang akan segera naik bus.
Sejak itu mungkin aku, Banu dan Dilla tidak akan bertemu Putri, Adrian dan teman-teman kecil Makassar itu lagi. Tapi dari pertemuan yang singkat itu aku belajar banyak dari mereka, pelajaran yang mungkin dalam matakuliah apapun di jurusanku tidak akan aku dapatkan. Kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini, beruntung kita mungkin tidak seperti mereka yang harus bekerja keras mencari uang sedari usia mereka yang masih kecil. Saat SD mungkin kita hanya berfikir untuk sekolah, malah kadang kita malas sekolah, padahal ketika butuh sesuatu mau itu buku pelajaran, tas baru, atau mainan-mainan terbaru pun pasti orang tua kita penuhi. Sekarang lihatlah teman-teman kita ini, usia mereka tidak lebih dari kita, bahkan terpaut jauh beberapa tahun dibawah kita, tapi mereka tidak malu untuk bekerja mecari uang, mereka tidak pernah meminta untuk ditambah uang jajannya seperti dulu ketika kita akan sekolah, mereka tidak merengek seperti kita dulu seusia mereka. Dan sesuatu yang luar biasa, dengan keadaan mereka yang seperti itupun, Putri dan ibunya masih mau memberi kepada temanku Dilla tidak melihat siapa orang yang dia beri baik itu orang yang mampu atau tidak seperti mereka, dan juga sesuatu yang istimewa bahwa anak-anak itu, mereka masih mempunyai mimpi. Bagiku mereka adalah emas-emas yang akan turut menghiasi jaman keemasan Bangsa ini kelak, bersama kita.
“Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki harta benda, tapi adalah orang yang tidak memiliki impian”
Untuk teman-teman kecilku di Makassar sana.